JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersikukuh tak ingin mengubah aturan yang mengharuskan anggota DPR, DPD, atau DPRD mundur jika menjadi calon kepala/ wakil kepala daerah saat pemilihan kepala daerah. Pasalnya, aturan itu sudah dikuatkan Mahkamah Konstitusi.
"Sikap pemerintah harus sejalan dengan putusan MK karena putusan MK bersifat final dan mengikat," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Senin (2/5).
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono menambahkan, hingga pembahasan terakhir RUU Revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada antara pemerintah dan DPR, akhir pekan lalu, fraksi- fraksi sepakat agar aturan itu diubah. DPR/DPD/DPRD tak perlu mundur, tetapi cukup mengambil cuti sebagai anggota. Hanya saja untuk mereka yang duduk sebagai pimpinan di alat kelengkapan DPR/DPRD, mereka harus meletakkan jabatannya.
"Pemerintah bisa memahami keinginan DPR. Namun, sebelum menyepakatinya, DPR juga harus konsultasi dulu dengan MK. Pasalnya, keharusan mereka mundur sebagai DPR/DPD/DPRD itu putusan MK," kata Sumarsono, menegaskan.
Pemerintah, tambah Sumarsono, tak ingin menyetujui kehendak DPR untuk mencabut aturan tersebut, tetapi di kemudian hari aturan itu justru bakal digugat kembali MK. Jika MK kemudian membatalkan kembali aturan tersebut, hal itu berpotensi mengganggu tahapan Pilkada 2017, selain bisa menciptakan persepsi pemerintah tak patuh pada ketentuan hukum yang final dan mengikat.
Peneliti Senior PARA Syndicate, Toto Sugiarto, berharap DPR dapat membatalkan keinginannya itu untuk mencabut ketentuan itu. Keinginan tersebut hendaknya tidak muncul karena bisa memicu kemunculan "peselancar-peselancar" politik.
"Peselancar politik itu karena saat ada peluang politik lebih baik, mereka akan mengejar peluang itu. Nanti kalau tak terpilih di pilkada, mereka bisa kembali lagi ke DPR/DPD/DPRD. Ini salah satu efek negatifnya, anggota DPR/DPD/DPRD itu berpotensi tak fokus menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat," ujar Toto.
Menurut dia, kalau anggota DPR/DPD/DPRD merasa dirinya berkualitas menjadi pemimpin daerah, mereka sebenarnya tak perlu takut kehilangan jabatan. "Contohnya Olly Dondokambey, yang berani mundur dari DPR, dan memang terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Utara pada Pilkada 2015," ucap Toto.
Tak berdasar
Anggota Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR, Arif Wibowo, menilai putusan MK yang mewajibkan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur dianggap tak berdasar. Pasalnya, tidak ada satu pun UU, termasuk UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD, melarang anggota legislatif mengikuti pilkada.
Karena itu, fraksi-fraksi di Panja RUU Pilkada menginginkan pasal yang mengatur kewajiban anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur diubah. "DPR, DPD, dan DPRD itu, kan, jabatan dipilih. Masak disamakan dengan jabatan yang diangkat?" ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Sejak awal, fraksi-fraksi di Parlemen menginginkan syarat mundur bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD dihapus. Alasannya, hal itu dianggap sebagai penyebab minimnya calon kepala daerah pada Pilkada 2015. Ketentuan itu juga dinilai membuat banyak kader parpol urung mencalonkan diri pada pilkada.
Adapun untuk pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Kepolisian Negara RI, dan pegawai badan usaha milik negara sudah disepakati mereka tetap diwajibkan mundur jika maju sebagai calon kepala daerah. Alasannya, UU melarang PNS, anggota TNI, Kepolisian RI, dan pegawai BUMN ikut politik praktis. (NTA/APA)/rumahpemilu.org