JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban mundur anggota legislatif yang mencalonkan sebagai kepala daerah harusnya tidak dijadikan alasan untuk enggan mencalonkan diri. Kebijakan itu justru mengakselerasi kaderisasi karena parpol bisa bekerja lebih keras siapkan kader merebut jabatan publik.
Oleh karena itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykur-udin Hafidz di Jakarta, Selasa (3/5), meminta DPR yang bersikukuh mengubah kebijakan lewat revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah jangan jangka pendek. Mereka juga harus memahami landasan filosofis di balik kewajiban mundur calon dari legislatif, PNS, TNI dan Polri, serta pejabat BUMN dan BUMD.
"Jika hanya cuti tanpa mundur dari jabatan, kader-kader potensial parpol akan tergeser dengan pejabat publik. Syarat hanya cuti akhirnya menghentikan regenerasi internal, konsolidasi, serta penguatan partai lewat jalur pilkada," kata Masykurudin.
Pasalnya, kata Masykurudin, tanpa kewajiban mundur, pilkada akan jadi ajang coba-coba bagi anggota legislatif. Ini akan menghilangkan kesempatan kader lain menjadi pejabat publik. Kebijakan mundur juga dapat menekan potensi penyalahgunaan jabatan ataupun fasilitas, yang menciptakan kompetisi tak seimbang.
Caretaker Komite Independen Pemantau Pemilu Girindra Sandino menambahkan, penghapusan kewajiban mundur itu justru menunjukkan parpol gagal menjalankan fungsi kaderisasi. Hal ini juga menunjukkan wajah oligarki parpol yang sangat kental dalam menjaring calon kepala daerah.
Menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay, rekomendasi KPU dalam perubahan UU Pilkada sebenarnya menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung. Dengan kata lain, anggota legislatif juga wajib mundur dari jabatannya jika mencalonkan.
Menanggapi keinginan parpol mengubah ketentuan pencalonan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, DPR tak bisa memaksa usulan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk tak perlu mundur jika maju sebagai calon. Selain bertentangan dengan putusan MK, ketentuan perubahan itu berpotensi dibatalkan kembali oleh MK.
"Kalau dalam sebuah UU ada pasal bertentangan dengan putusan MK, bisa dibatalkan lagi oleh MK karena putusan MK bersifat final dan mengikat," katanya.
Adapun pimpinan Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR Lukman Edy menegaskan, usulan penghapusan pasal keharusan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur sudah disepakati perwakilan pemerintah. (APA/GAL/NTA)/rumahpemilu.org